Search
Sabtu, 27 November 2010
Indonesia Kembali Menangis, Relawan Siap Menyalurkan Bantuan-Bantuan
Sabtu, 06 November 2010
Review Jurnal
TUGAS REVIEW JURNAL TENTANG KELOMPOK
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT serta junjungankami Nabi Besar Muhammad SAW yang telah memberikan nikmat sehat kepada kita semua. Alhamdulillah, dengan terselesaikannya pembuatan Tugas review jurnal tentang konflik kelompok, kami sangat bersyukur dengan ini. Karena dengan niat yang baik kami ingin melengkapi tugas yang diberikan oleh dosen yang bersangkutan guna memenuhi nilai mata kuliah tersebut. Review jurnal ini berisi tentang pembentukan suatu kelompok, konflik kelompok, prestasi kelompokn beserta penjabaran lainnya yang saling berkaitan. Kami berharap dengan kehadiran tulisan ini dapat memberikan pengetahuan baru bagi para pembaca yang tidak mengetahui secara dalam tentang hal tersebut.
Demikian yang bisa kami sampaikan, mohon maaf apabila terdapat banyak kesalahan dalam makalah ini. Kritik yang membangun adalah satu hal yang kami butuhkan.
Terima kasih.
Wassalam Wr.Wb.
JURNAL
Jurnal 1
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI NELAYAN TERHADAP KONFLIK KELOMPOK DENGAN MOTIVASI KERJA PADA MASYARAKAT PESISIR DI BATANG
Apa Yang Di Teliti?
Penelitian ini meneliti hubungan antara persepsi nelayan terhadap konflik dengan motivasi kerja pada masyarakat pesisir di Batang
A. Latar Belakang Masalah
Sumber daya manusia merupakan aset yang sangat penting dan berharga untuk menunjang keberhasilan individu. Kualitas sumber daya manusia mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan individu untuk dapat tetap hidup dan berkembang dalam era globalisasi. Oleh karena itu, agar individu dapat lebih berkembang secara optimal melaksanakan tugas sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Winengan (2007) menjelaskan bahwa masyarakat pesisir identik dengan nelayan merupakan bagian dari masyarakat terpinggirkan yang masih terus bergulat dengan berbagai persoalan kehidupan, termasuk dalam memenuhi kebutuhan hidup. Nelayan dalam membiayai kebutuhan hidup sehari-harinya hanya mengandalkan hasil penjualan ikan yang didapatkan dari menangkap ikan di laut. Kondisi kehidupan nelayan selalu menjadi hal yang menarik untuk dibincangkan karena selalu dalam kondisi yang memprihatinkan. Nelayan dituntut untuk memiliki semangat kerja yang tinggi untuk dapat bertahan sebagai nelayan dan dapat memenuhi kebutuhan hidup. Untuk memiliki semangat kerja tinggi dibutuhkan kemauan dan kemampuan. Kemauan yang kuat akan memberikan warna yang kuat dari dalam individu terhadap keberhasilan dalam mencapai cita-cita atau tujuan.
Semangat kerja itu sendiri timbul dan tumbuh dalam diri individu yang disebabkan adanya motivasi untuk memenuhi kebutuhan batin maupun kebutuhan lahir diri individu. Secara keseluruhan tingkah laku manusia dituntut untuk mencapai kemajuan dan mewujudkan diri sendiri di dalam dunianya memerlukan motivasi kerja. Akan tetapi, motivasi para nelayan dapat menurun disebabkan adanya masalah yang belum terselesaikan.
Motivasi yang tinggi diperlukan dalam dunia kerja. Akan tetapi dalam kenyataan, motivasi kerja yang tinggi kurang dimiliki oleh seseorang sehingga dapat dikatakan orang tersebut memiliki motivasi kerja rendah. Motivasi kerja rendah ini juga terjadi pada nelayan yang bermatapencaharian menangkap ikan.
Berdasarkan hasil wawancara pra penelitian dengan Kepala Kelompok nelayan di Kalurahan Klidang Lor, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang (Listio Sarana, 2009) dapat diperoleh keterangan bahwa nelayan di Kalurahan Klidang Lor sebagian besar anggota pada tahun 2009 ini motivasi kerjanya menurun. Motivasi kerja nelayan menurun dapat diketahui melalui kegiatan yang dilakukan sebagian besar nelayan melaut hanya 2 -3 jam, yang biasanya nelayan sampai semalam dan sebagian nelayan akan pergi melaut apabila diajak oleh teman. Dua hal tersebut berpengaruh terhadap penghasilan nelayan juga menurun. Faktor penyebab menurunnya motivasi kerja karena banyak menemui permasalahan, antara lain masalah dengan tengkulak, masalah dengan kebijakan pemerintah yang memojokan keadaan nelayan karena membela kepentingan orang-orang tertentu, dan naiknya harga BBM (solar) yang membuat nelayan kesulitan membeli BBM (solar).
Ditambahkan oleh Karim (2008) bahwa masyarakat nelayan yang selama ini tidak berdaya akibat tekanan-tekanan kemiskinan struktural. Pemerintah hanya membuat kebijakan-kebijakan yang sifatnya simbolistik serta tidak jelas seperti Gerbang Mina Bahari (GMB), Revolusi Biru ( Blue Revolution ) dan segala macamnya yang output-nya membuat kemiskinan nelayan menjadi permanen. Aspirasi masyarakat pesisir untuk mangatasi berbagai persoalan lingkungan di wilayahnya sering menghadapi kendala karena tidak adanya dukungan yang memadahi dari para elite pemerintahan. Tidak jarang, aparat keamanan justru berbuat represif terhadap masyarakat yang mencoba mengganggu kepentingan investasi pemilik modal atau perusahaan yang berada di kawasan pesisir. Keadaan tersebut menimbulkan sebagian besar nelayan memiliki motivasi kerja rendah.
Motivasi kerja rendah ini juga dialami oleh para nelayan yang masuk dalam anggota koperasi nelayan Tri Bakti Santoso di Kalurahan Klidang Lor, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang. Berdasarkan hasil wawancara pra penelitian (2 Februari 2009) diperoleh data dari pimpinan koperasi nelayan Tri Bakti Santoso bahwa motivasi yang dimiliki para nelayan anggota koperasi Tri Bakti Santoso rendah. Hal ini dapat diketahui melalui hasil tangkapan ikan nelayan yang semakin menurun karena waktu nelayan mencari ikan cenderung berkurang. Biasanya nelayan mencari ikan selama 10-12 jam menjadi 8 jam kurang. Data lain dari jawaban beberapa anggota koperasi nelayan Tri Bakti Santoso (hasil wawancara 5 Februari 2009) diperoleh kesimpulan bahwa motivasi kerja nelayan rendah karena pengaruh cuaca, sikap pengurus koperasi yang kurang peduli dalam menyediakan solar sehingga petani terpaksa meminjam uang ke rentenir dengan sistem ijon yang membuat hasil tangkapan ikan nelayan tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga.
Motivasi kerja dalam dunia kerja menempati unsur terpenting yang harus dimiliki nelayan. Sebab motivasi merupakan kemampuan usaha yang dilakukan seseorang untuk meraih tujuan dan disertai dengan kemampuan individu untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhannya. Motivasi merupakan pendorong yang menyebabkan seseorang rela untuk menggerakkan kemampuan tenaga dan waktunya untuk menjalankan semua kegiatan yang telah menjadi tugas dan tanggung jawabnya, agar kewajibannya terpenuhi serta sasaran dan tujuan yang ingin dicapai perusahaan terwujud. Manusia memiliki banyak motivasi dasar yang berperan penting dalam dunia kerja. Motivasi individu dalam bekerja akan memberikan dampak positif, baik bagi diri individu maupun pihak lain. Sikap positif yang ditunjukkan untuk meningkatkan kepentingan diri sendiri merupakan cerminan motivasi pada diri individu tinggi. Motivasi berprestasi menjadi komponen yang sangat berperan dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Individu memiliki motivasi yang tinggi akan mempunyai semangat, keinginan dan energi yang besar dalam diri individu untuk bekerja seoptimal mungkin.
Akibat adanya persoalan-persoalan yang di temui pada nelayan, Winengan (2007) menyatakan ada tiga sumber kerawanan yang dapat menurunkan motivasi kerja nelayan. Pertama , kerawanan yang disebabkan oleh keadaan alam dan ekologis yang menyebabkan masyarakat miskin tidak mampu mempertahankan tingkat hidupnya yang layak; Kedua, kerawanan yang disebabkan oleh bekerjanya sistem harga, sehingga masyarakat miskin tidak mampu berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi; Ketiga, kerawanan monokultural yang menyebabkan masyarakat miskin menjadi tidak berdaya untuk berkembang. Masyarakat pesisir (masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan pantai) yang identik dengan nelayan merupakan bagian dari masyarakat terpinggirkan yang masih terus bergulat dengan berbagai persoalan kehidupan, baik ekonomi, sosial, maupun budaya.
Novawanty (2008) menyatakan bahwa persoalan sosial yang berpengaruh terhadap motivasi pada nelayan akibat pihak luar dari sekelompok warga atau organisasi seperti pengusaha ikan atau tengkulak ikan dan kebijakan-kebijakan pemerintah dalam Undang-undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UU PWP-PPK) dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM) yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh oleh aparat pemerintah kurang memihak para nelayan, menyebabkan intensitas konflik memuncak. Sodik, dkk., (2006) menjelaskan bahwa dalam tataran konflik antar kelompok ini, kepentingan individual dalam kelompok seringkali juga diabaikan, karena telah diwakili oleh kepentingan kelompok (individu mengalami gejala sosial yang dikenal sebagai oversocialized processes dimana tujuan dan kepentingan kolektif menjadi segala-galanya). Artinya, persaingan antar individu pada suatu kelompok melawan kepentingan individu pada kelompok yang berbeda menjadi bagian integral konflik sosial antar kelompok. Dengan kata lain konflik sosial selalu melibatkan perselisihan antar kelompok (partai/pihak) dimana individu di dalamnya menjadi konstituen pendukung perjuangan kelompoknya masing-masing. Demikianlah sehingga pada banyak kasus, konflik kelompok (group conflict ) dipakai untuk menunjuk pengertian konflik sosial (social conflict).
Konflik dalam suatu kelompok kerja dapat berdampak positif namun dapat juga berdampak negatif. Anoraga (2002) menjelaskan dampak positif dari adanya konflik di organisasi yaitu dapat menimbulkan perubahan secara konstruksi, segala daya dan motivasi tertuju pada pencapaian tujuan, merangsang inovasi dan keeratan dalam kelompok. Dampak negatif dari adanya konflik dalam organisasi dapat menurunkan kerja dan hilangnya motivasi kerja. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu motivasi kerja nelayan di Kalurahan Klidang Lor, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang menurun karena faktor cuaca, ketidakpedualian pengurus koperasi, dan sikap rentenir yang menekan nelayan dengan bunga tinggi. Di sisi lain, konflik yang terjadi kelompok pada nelayan berdampak negatif sehingga menimbulkan persepsi negatif nelayan terhadap konflik yang terjadi. Atas dasar penjelasan tersebut, maka rumusan dalam penelitian ini sebagai berikut: apakah ada hubungan antara persepsi terhadap konflik dengan motivasi kerja pada nelayan.
B. Metode Yang Digunakan
Metode Kuantitatif.
Variabel kriterium dalam penelitian ini adalah konflik dengan motivasi kerja pada masyarakat pesisir di Batang , sedangkan variabel bebasnya adalah hubungan antara persepsi nelayan. Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah Masyarakat pesisir di Batang.
C. Pengujian
Pengumpulan data dilakukan dengan langsung turun ke lapangan. Dan mencari data langsung dari masyarakat dan para nelayan di Batang.
D. Hasil
Berdasarkan hasil wawancara pra penelitian dengan Kepala Kelompok nelayan di Kalurahan Klidang Lor, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang (Listio Sarana, 2009) dapat diperoleh keterangan bahwa nelayan di Kalurahan Klidang Lor sebagian besar anggota pada tahun 2009 ini motivasi kerjanya menurun. Motivasi kerja nelayan menurun dapat diketahui melalui kegiatan yang dilakukan sebagian besar nelayan melaut hanya 2 -3 jam, yang biasanya nelayan sampai semalam dan sebagian nelayan akan pergi melaut apabila diajak oleh teman.
Dua hal tersebut berpengaruh terhadap penghasilan nelayan juga menurun. Faktor penyebab menurunnya motivasi kerja karena banyak menemui permasalahan, antara lain masalah dengan tengkulak, masalah dengan kebijakan pemerintah yang memojokan keadaan nelayan karena membela kepentingan orang-orang tertentu, dan naiknya harga BBM (solar) yang membuat nelayan kesulitan membeli BBM (solar).
Motivasi kerja rendah ini juga dialami oleh para nelayan yang masuk dalam anggota koperasi nelayan Tri Bakti Santoso di Kalurahan Klidang Lor, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang. Berdasarkan hasil wawancara pra penelitian (2 Februari 2009) diperoleh data dari pimpinan koperasi nelayan Tri Bakti Santoso bahwa motivasi yang dimiliki para nelayan anggota koperasi Tri Bakti Santoso rendah. Hal ini dapat diketahui melalui hasil tangkapan ikan nelayan yang semakin menurun karena waktu nelayan mencari ikan cenderung berkurang. Biasanya nelayan mencari ikan selama 10-12 jam menjadi 8 jam kurang. Data lain dari jawaban beberapa anggota koperasi nelayan Tri Bakti Santoso (hasil wawancara 5 Februari 2009) diperoleh kesimpulan bahwa motivasi kerja nelayan rendah karena pengaruh cuaca, sikap pengurus koperasi yang kurang peduli dalam menyediakan solar sehingga petani terpaksa meminjam uang ke rentenir dengan sistem ijon yang membuat hasil tangkapan ikan nelayan tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga.
Jurnal 2
KONFLIK KEPENTINGAN ANTARA AMERIKA DAN KELOMPOK ISLAM FUNDAMENTALIS
Apa Yang Diteliti?
Penelitian ini meneliti tentang Konflik kepentingan antara Amerika dan Kelompok Islam Fundalismentalis
A. Latar Belakang
Negara yang merasa memiliki ekonomi yang baik, sumber daya manusia yang potensial, dan keuangan yang kuat menpunyai banyak kepentingan, terutama kepentingan untuk menguasai perekonomian dunia. Berbagai cara dilakukan untuk memenuhi kepentingan tersebut, bahkan tidak jarang dilakukan dengan cara yang tidak etis kadang-kadang menjurus pada tindakan HAM dan kriminal. Hal ini dapat dilihat dari tindakan atau strategi yang dilakukan negara adikuasa seperti Amerika Serika Untuk memenuhi kepentingan ekonominya salah satu caranya dengan menguasai sumberdaya alam negara lain, apakah itu minyak, gas, intan, emas, tembaga, bahkan uranium. Untuk dapat menguasai sumber daya alam tersebut berbagai cara dilakukan, tidak jarang intelijen turut berperan dalam mengatur strategi. Bila diamati secara cermat, negara yang kaya akan sumberdaya alamnya, mayoritas penduduknya beragama Islam. Dalam agama Islam, manusia diwajibkan untuk berusaha atau melakukan aktivitas dalam mempertahankan hidupnya selagi tidak bertentangan dengan syariat Islam, atau tidak merusak lingkungan sosial alam. Di sisi lain Amerika memiliki budaya dan kepercayaan yang berbeda dengan negara-negara yang berpenduduk mayoritas beragama Islam, bahkan tidak jarang bertolak belakang. Hal ini sering memicu timbulnya konflik. Seperti diketahui Amerika merupakan negara kapitalis yang ingin mendapatkan untung sebesar-besarnya, tetapi di sisi lain kurang memprhatikan aspek kultural dan sosial serta religi negara tempat ia menanamkan modal atau investasi.
B. Metode Yang Digunakan
Metode Kuantitatif.
Variabel kriterium dalam penelitian ini adalah , sedangkan variabel bebasnya adalah . Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah Negara amerika yang merupakan Negara yang mempunyai konflik kepentingan dengan kelompok fundamental. Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian nya adalah amerika dengan kelompok islam.
C. Pengujian
Pengujian yang dilakukan adalah dengan mencari data langsung di lapangan.
D. Hasil
Dari hasil pengamatan,dapat di simpulkan bahwa, konflik yang sering terjadi antara amerika dengan kelompok islam fundamental disebabkan oleh berbagai faktor, contohnya ada nya kepentingan-kepentingan tertentu dari Negara-negara besar seperti amerika untuk menguasai Negara-negara lain. Berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan apa yang di inginkan,bahkan dengan tindakan-tindakan yang dapat melanggar HAM dan menjurus pada kriminal.
Salah Satu contoh nya adalah menguasai sumber alam Negara lain seperti gas alam,intan,minyak bumi,tembaga bahkan uranium. Bahkan untuk mendapatkan semua itu mereka mengerahkan segala pihak dalam memenuhi kebutuhan atau kepentingan nya.
Amerika dan Negara-negara islam mempunyai kultur budaya yang sangat jauh berbeda, inilah yang sering terjadi timbulnya konflik. Terlebih lagi amerika adalah Negara kapitalis dimana Negara tersebut mempunyai paham untuk mencari keuntungan yang sebesar-besar nya, tetapi tidak memperhatikan aspek-aspek social,cultural serta religi di Negara yang dijadikan tempat investasi nya.
Jurnal 3
HAMAS DAN ISRAEL: STRATEGI BERTENTANGAN KELOMPOK BERBASIS POLITIK
Apa Yang Diteliti?
Penelitian ini meneliti tentang pertentangan antar kelompok Hammas dan Israel yang berbasis politik
A. Latar Belakang
Konflik antara Palestina dan Israel telah meningkat sejak tahun 2001, bahkan sebagai ancaman yang dirasakan ke Israel dari Mesir, Yordania, Irak, atau bahkan Suriah, telah menurun. Israel tidak bisa mentolerir 'Arab perlawanan Palestina kewenangan mereka atas dasar hukum penolakan penentuan nasib sendiri, dan akhirnya memilih untuk memberikan beberapa ukuran penentuan nasib sendiri sambil terus mengkonsolidasikan kontrol Wilayah Pendudukan, Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Gaza. Namun, komprehensif perdamaian, berkilauan di kejauhan, telah menghindari semua. Pemerintah Palestina dipimpin oleh Hamas pada tahun 2006, politik, dan ekonomi telah menjadi besar hambatan bagi perdamaian substantif. Alasan Israel bandel dan sikap Hamas menggambarkan kedua kontinuitas dan perubahan dalam dinamika konflik sejak periode Oslo (kira-kira tahun 1994 hingga al-Aqsa
Intifadha 2000)
Sekarang, lebih dari sebelumnya, jangka panjang gencatan senjata dan negosiasi yang diperlukan. Ini dapat mengakibatkan secara bertahap untuk itu-seperti perdamaian fatamorgana, dan tipe baru keamanan rezim.
B. Metode Yang Digunakan
Metode kualitatif
Variable kriterium yang di gunakan dalam penelitian ini adalah konflik antara kelompok Hammas dengan Israel yang sudah semakin mengerucut. Variable bebas nya adalah konflik strategi antara Hammas dengan Israel yang sarat dengan muatan politik.
C. Pengujian
Pengumpulan data dilakukan dengan langsung turun ke lapangan. Mengambil data berdasarkan konflik yang terjadi antara Hamas dan Israel.
D. Hasil
Perdamaian yang belum menemukan titik terang mengakibatkan konflik yang berkepanjangan di timur tengah. Dan sering terjadi perang yang tidak terduga-duga dan juga memakan korban yang tidak sedikit di antara kedua belah pihak. Dan ini merupakan keperihatihan Negara islam di dunia\ terhadap Negara palestina yang selalu di lecehkan oleh Israel dan sekutu-sekutunya.
Jurnal 4
PERAN SERTA MASYARAKAT DAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI INDONESIA
Apa Yang Diteliti?
Penelitian ini meneliti tentang Peran serta masyarakat dan Negara dalam penyelesaian kinflik di Indonesia
A. Latar Belakang
Konflik merupakan peristiwa yang wajar di tengah kehidupan masyarakat majemuk, karena perbedaan nilai, persepsi, kebiasaan, dan kepentingan di antara berbagai kelompok masyarakat merupakan faktor potensial yang dapat menjadi pemicu. Kemungkinan berlangsungnya konflik akan semakin menguat jika perbedaan horisontal (nilai, ideologi, kebiasaan, dan sebagainya) tersebut dipertajam oleh perbedaan vertikal (kesenjangan ekonomi dan kekuasaan). Sebagai realitas sosial masyarakat, konflik mempunyai sisi positif dan sisi negatif. Dalam dimensi positif, konfllik menjadi bagian penting untuk terwujudnya perubahan sosial yang lebih berarti menyelaikan perbedaan yang timbul, membangun dinamika, heroisme, militanisme, penguatan solidaritanisme baru, serta lompatan sejarah ke depan untuk integrasi yang lebih kokoh. Sedangkan mn h dimensi negatif, konflik menimbulkan resiko bagi masyarakat dan bangsa, mengakibatkan kerawanan sosial dan politik serta memicu krisis atau kekacauan ( chaos ) dalam berbagai bentuknya seperti; disorientasi nilai, disharmonisasi sosial, disorganisasi, bahkan sampai kepada disintegrasi bangsa. Indonesia sebagai sebuah bangsa, sejak awal kemerdekaan hingga era reformasi mengalami perjalanan konflik yang luar biasa, baik dalam bentuk, sifat dan jenis, maupun dalam eskalasinya yang beragam, kompleks dan multi dimensi. Sejak era pemerintahan Soekarno (1945-1965), Soeharto (1966-1998), sampai pada masa pemerintahan di era reformasi (1999-2006), gejolak konflik dan kekerasan terjadi secara bertubi-tubi dari lingkup komunitas lokal, regional sampai tingkat nasional. Sejauh pengamatan yang dapat disaksikan bahwa fenomena konflik sosial politik di Indonesia sampai tahun 2006 menunjukkan intesitas yang semakin tinggi serta semakin memprihatikan. Dalam catatan hasil laporan penelitian yang di lakukan, konflik hampir terjadi di seluruh wilayah Indonesia ( Jurnal PSK , Edisi II, April 2000). Tahun 1996 sampai masa reformasi di tahun 2000, inventarisasi kasus-kasus konflik kekerasan mencapai 628 kasus dengan perincian; tahun 1996 terjadi 24 konflik; tahun 1999 terjadi 210 kasus konflik; tahun 2000 terjadi 230 kasus konflik, tahun 2006 konflik kekerasan yang terjadi dari tingkat komunal sampai nasional mencapai 240 kasus.
Kompleksitas dan intensitas konflik yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Aceh, Maluku, dan Timor-Timur telah mendorong keterlibatan dunia internasional. Penyelesaian konflik tersebut, khususnya di Aceh dan Maluku, sejauh ini dapat diatasi meskipun melalui upaya panjang dan rumit. Kedua daerah tersebut dapat dipertahankan sebagai bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sementara, penyelesaian terhadap konflik vertikal di Timor-Timur telah memaksa Indonesia harus rela melepaskan daerah tersebut menjadi negara yang berdiri sendiri.
Persoalannya kemudian, pemerintah dan rakyat Indonesia dihadapkan kepada situasi baru pasca konflik yang meninggalkan sejumlah masalah yang rumit.
B. Metode Yang Digunakan
Metode Kualitatif.
Variabel kriterium dalam penelitian ini adalah Konflik di Indonesia , sedangkan variabel bebasnya adalah Peran serta masyarakat dan Negara. Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah Masyarakat Indonesia.
C. Pengujian
Pengumpulan data dilakukan dengan langsung turun ke lapangan. Dan mencari data langsung dari masyarakat dan peristiwa yang terjadi.
D. Hasil
Konflik yang terjadi di Aceh dan Maluku merupakan konflik yang multidimensi baik dari segi bentuk, sifat, jenis dan eskalasi. Konflik itu bukan karena sebab yang berdiri sendiri, hampir semua konflik selalu bersentuhan dengan persoalan kepentingan negara (penguasa) dengan kepentingan masyarakat; individu, kelompok, komunal, golongan, lokal serta kepentingan elit yakni berkaitan erat dengan budaya politik masyarakat Indonesia yang masih bersifat paternalistik. Kompleksitas konflik yang terjadi pada hakekatnya merupakan akumulasi dari ketidakadilan dari sebuah sistem yang dibangun bersama. Bangsa yang di dalamnya mengandung kumpulan kelompok manusia yang saling berinteraksi mencakup; komunitas,. suku, etnis, golongan, rakyat dan pemerintah sebagai penyelenggara negara dapat menjadi penyebab sekaligus pemicu dari timbulnya konflik termasuk konflik kekerasan.
Dari berbagai konflik yang muncul di Indonesia dapat diuraikan dari sifatnya, konflik dalam sifat vertikal (daerah berhadapan dengan pusat atau massa berhadapan dengan elit) dengan bentuk konflik kekerasan dan jenisnya separatisme, konflik di Aceh dengan skala yang besar adalah contoh dalam hal ini. Walaupun telah damai, tetapi segala yang diakibatkan konflik diperlukan kemampuan menjaga apa yang menjadi kesepakatan damai dan membangun kembali apa yang hilang, rusak atau tak berdaya dengan cara sinerjitas antara masyarakat dan negara. Konflik di Maluku memiliki karakter yang berbeda dengan Aceh, konflik di Maluku pada awalnya bersifat vertical. Ketika Semokil dengan Republik Maluku Selatan (RMS) yang disebut kelompok loyalis kolonial Belanda melakukan perlawanan kekerasan (bersenjata) dengan jenis separatisme pada era pemerintahan Soekarno dan konflik diselesaikan.
Dalam era transisi perubahan politik di Indonesia di tahun 1999, di Ambon (Maluku) terjadi konflik horizontal dalam bentuk konflik kekerasan komunal antaretnis.Tetapi dalam perkembangannya telah bertumpang tindih dengan konflik yang bersifat vertikal, yakni separatisme dengan munculnya kembali kelompok pengacau.
Daftar Pustaka
pps.unas.ac.id:8080/.../P%20421-442%20Peran%20Serta.pdf
http://peterfelix.tripod.com/home/Conflict.pdf
http://www.fsrd.itb.ac.id/wp-content/uploads/2-p-chairil-doc.pdf
http://etd.eprints.ums.ac.id/7815/1/F100040120.pdf
http://www.strategicstudiesinstitute.army.mil/pdffiles/pub894.pdf
Sabtu, 09 Oktober 2010
Capella Band
Pada tahun 2006, terbentuk sebuah ikatan persahabatan antara pelajar SMA, dengan pemikiran yang sama, mereka mengambil keputusan membentuk sebuah band sekolah. Band ini terbentuk dari minat dan hobi yang sama dalam bidang seni musik, mereka memilih Pop Alternatif sebagai genre musik mereka.
Latihan demi latihan di Lakukan mereka 3 sampai 4 kali seminggu untuk mengkompakkan para personil band ini, tidak hanya latihan yang di lakukan, merekapun mengisi acara berbagai event, di dalam maupun luar sekolah, merekapun mengekspresikan aksinya pada festival-festival band yang diselenggarakan, sebagai penambahan pengalaman penampilan mereka.
Persahabatan antara para personil di mulai dari awal mereka memasuki SMA, kekompakkan mereka telah terlihat sejak awal masuk. Dengan kekompakkan itu, Edo (Vocalist), Leo (Vocalist), Ian(Gitar Rythm), Jehan(Gitar Melody), Satria(Bassist) dan Randra(Drum), sepakat membentuk sebuah band sekolah, dan salah satu dari mereka berinisiatif memberikan nama “ Capella Band “ untuk band tersebut, dan disetujui dengan personil lain.
Band ini memiliki tujuan yang kuat untuk berkreasi hingga menembus dapur rekaman, setiap langkah menjadi berarti bagi mereka, keceriaan yang tercipta dengan seiringgnya waktu, membuat suatu keeratan dalam persahabatan. Berkumpul antara para personil sering dilakukan, Capella Band di sebuah basecamp, yang terletak di Kenten, Palembang. Di basecamp ini para personil menghabiskan waktu dengan saling bertukar pikiran, membicarakan sebuah lagu yang telah diciptakan dan latihan.
Walaupun mereka memiliki aktifitas yang padat, seperti harus sekolah dan kegiatan lainnya, mereka dapat membagi waktunya antara band dan pendidikan, setiap pelajaran, mereka tidak melalaikannya, band ini memiliki prinsip, “ Pendidikan Adalah Terpenting “.
Sabtu, 05 Juni 2010
Penanganan Fobia Sekolah
1. Tetap menekankan pentingnya bersekolah
Kemungkinan besar anak akan coba-coba bernegosiasi dengan orangtua, untuk menguji ketegasan dan konsistensi orangtua. Jika ternyata pada suatu hari orangtua akhirnya “luluh”, maka keesokkan harinya anak akan mengulang pola yang sama. Tetaplah bersikap hangat, penuh pengertian, namun tegas dan bijaksana sambil menenangkan anak bahwa semua akan lebih baik setibanya dia di sekolah.
2. Berusahalah untuk tegas dan konsisten
Berusahalah untuk tegas dan konsisten dalam bereaksi terhadap keluhan, rengekan, tantrum atau pun rajukan anak yang tidak mau sekolah.dalam bereaksi terhadap keluhan, rengekan, tantrum atau pun rajukan anak yang tidak mau sekolah. Entah karena pusing mendengar suara anak atau karena amat mengkhawatirkan kesehatan anak, orangtua seringkali meluluskan permintaan anak. Tindakan ini tentu tidak sepenuhnya benar. Jika ketika bangun pagi anak segar bugar dan bisa berlari-lari keliling rumah atau pun sarapan pagi dengan baik, namun pada saat mau berangkat sekolah, tiba-tiba mogok – maka sebaiknya orangtua tidak melayani sikap “negosiasi” anak dan langsung mengantarnya ke sekolah. Satu hal penting untuk diingat adalah hindari sikap menjanjikan hadiah jika anak mau berangkat ke sekolah, karena hal ini akan menjadi pola kebiasaan yang tidak baik (hanya mau sekolah jika diberi hadiah). Anak tidak akan mempunyai kesadaran sendiri kenapa dirinya harus sekolah dan terbiasa memanipulasi orangtua/ lingkungannya. Anak jadi tahu bagaimana taktik atau strategi yang jitu dalam mengupayakan agar keinginannya terlaksana.
Jika sampai terlambat, anak tetap harus berangkat ke sekolah – kalau perlu ditemani/ diantar orangtua. Demikian juga jika sesampai di sekolah anak minta pulang, maka orangtua harus tegas dan bekerja sama dengan pihak guru untuk menenangkan anak agar akhirnya anak merasa nyaman kembali. Jika anak menjerit, menangis, ngamuk, marah-marah atau bertingkah laku aneh-aneh lainnya, orangtua hendaknya sabar. Ajaklah anak ke tempat yang tenang dan bicaralah baik-baik hingga kecemasan dan ketakutannya berkurang / hilang, dan sesudah itu bawalah anak kembali ke kelasnya. Situasi ini dialami secara berbeda antara satu orang dengan yang lain, tergantung dari kemampuan orangtua menenangkan dan mendekatkan diri pada anak. Namun jika orangtua mengalami kesulitan dalam menghadapi sikap anaknya, mintalah bantuan pada guru atau sesama orangtua murid lainnya yang dikenal cukup dekat oleh anak. Terkadang, keberadaan mereka justru membuat anak lebih bisa mengendalikan diri.
3. Konsultasikan masalah kesehatan anak pada dokter
Jika orangtua tidak yakin akan kesehatan anak, bawalah segera ke dokter untuk mendapatkan kepastian tentang ada/ tidaknya problem kesehatan anak. orangtua tentu lebih peka terhadap keadaan anaknya setiap hari; perubahan sekecil apapun biasanya akan mudah dideteksi orangtua. Jadi, ketika anak mengeluhkan sesuatu pada tubuhnya (pusing, mual, dan sebagainya.), orangtua dapat membawanya ke dokter yang buka praktek di pagi hari agar setelah itu anak tetap dapat kembali ke sekolah. Selain itu, dokter pun dapat membantu orangtua memberikan diagnosa, apakah keluhan anak merupakan pertanda dari adanya stress terhadap sekolah, atau kah karena penyakit lainnya yang perlu ditangani secara seksama.
4. Bekerjasama dengan guru kelas atau asisten lain di sekolah
Pada umumnya para guru sudah biasa menangani masalah fobia sekolah atau pun school refusal (terutama guru-guru pre-school hingga TK). Hampir setiap musim sekolah tiba, ada saja murid yang mogok sekolah atau menangis terus tidak mau ditinggal orangtuanya atau bahkan minta pulang. Orangtua bisa minta bantuan pihak guru atau pun school assistant untuk menenangkan anak dengan cara-cara seperti membawanya ke perpustakaan, mengajak anak beristirahat sejenak di tempat yang tenang, atau pada anak yang lebih besar, guru dapat mendiskusikan masalah yang sedang memberati anak. Guru yang bijaksana, tentu bersedia memberikan perhatian ekstra terhadap anak yang mogok untuk mengembalikan kestabilan emosi sambil membantu anak mengatasi persoalan yang dihadapi – yang membuatnya cemas, gelisah dan takut. Selain itu, berdiskusi dengan guru untuk meneliti faktor penyebab di sekolah (misalnya diejek teman, dipukul, dsb) adalah langkah yang bermanfaat dalam upaya memahami situasi yang biasa dihadapi anak setiap hari.
5. Luangkan waktu untuk berdiskusi/berbicara dengan anak
Luangkan waktu yang intensif dan tidak tergesa-gesa untuk dapat mendiskusikan apa yang membuat anak takut, cemas atau enggan pergi ke sekolah. Hindarkan sikap mendesak atau bahkan tidak mempercayai kata-kata anak. Cara ini hanya akan membuat anak makin tertutup pada orangtua hingga masalahnya tidak bisa terbuka dan tuntas. Orangtua perlu menyatakan kesediaan untuk mendampingi dan membantu anak mengatasi kecemasannya terhadap sesuatu, termasuk jika masalah bersumber dari dalam rumah tangga sendiri. Orangtua perlu introspeksi diri dan kalau perlu merubah sikap demi memperbaiki keadaan dalam rumah tangga.
Orangtua pun dapat mengajarkan cara-cara atau strategi yang bisa anak gunakan dalam menghadapi situasi yang menakutkannya. Lebih baik membekali anak dengan strategi pemecahan masalah daripada mendorongnya untuk menghindari problem, karena anak akan makin tergantung pada orangtua, makin tidak percaya diri, makin penakut, dan tidak termotivasi untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.
6. Lepaskan anak secara bertahap
Pengalaman pertama bersekolah tentu mendatangkan kecemasan bagi anak, terlebih karena ia harus berada di lingkungan baru yang masih asing baginya dan tidak dapat ia kendalikan sebagaimana di rumah. Tidak heran banyak anak menangis sampai menjerit-jerit ketika diantar mamanya ke sekolah. Pada kasus seperti ini, orangtua perlu memberikan kesempatan pada anak menyesuaikan diri dengan lingkungan baru-nya. Pada beberapa sekolah, orangtua/ pengasuh diperbolehkan berada di dalam kelas hingga 1 – 2 minggu atau sampai batas waktu yang telah ditentukan pihak sekolah. Lepaskan anak secara bertahap, misalnya pada hari-hari pertama, orangtua berada di dalam kelas dan lama kelamaan bergeser sedikit-demi sedikit di luar kelas namun masih dalam jangkauan penglihatan anak. Jika anak sudah bisa merasa nyaman dengan lingkungan baru dan tampak “happy” dengan teman-temannya – maka sudah waktunya bagi orangtua untuk meninggalkannya di kelas dan sudah waktunya pula bagi orangtua untuk tidak lagi bersikap overprotective, demi menumbuhkan rasa percaya diri pada anak dan kemandirian.
7. Konsultasikan pada psikolog/konselor jika masalah terjadi berlarut-larut
Jika anak tidak dapat mengatasi fobia sekolahnya hingga jangka waktu yang panjang, hal ini menandakan adanya problem psikologis yang perlu ditangani secara proporsional oleh ahlinya. Apalagi, jika fobia sekolah ini sampai mengakibatkan anak ketinggalan pelajaran, prestasinya menurun dan hambatan penyesuaian diri yang serius – maka secepat mungkin persoalan ini segera dituntaskan.
Psikolog/ konselor akan membantu menemukan pokok persoalan yang mendasari ketakutan, kecemasan anak, sekaligus menemukan elemen lain yang tidak terpikirkan oleh keluarga – namun justru timbul dari dalam keluarga sendiri (misalnya takut dapat nilai jelek karena takut dimarahi oleh papanya).
Untuk itulah konselor/ psikolog umumnya menghendaki keterlibatan secara aktif dari pihak orangtua dalam menangani masalah yang dihadapi anaknya. Jadi, orangtua pun harus belajar mengenali siapa dirinya dan menilai bagaimana perannya sebagai orangtua melalui masalah-masalah yang timbul dalam diri anak.
Beberapa tanda yang dapat dijadikan sebagai kriteria school refusal, antara lain mau datang ke sekolah, tetapi tidak lama kemudian minta pulang, pergi ke sekolah dengan menangis, menempel terus dengan mama/papa atau pengasuhnya, atau menjerit-jerit di kelas, agresif terhadap anak lainnya (memukul, menggigit, dan sebagainya) atau pun menunjukkan sikap-sikap melawan/menentang gurunya. Menunjukkan ekspresi/raut wajah sedemikian rupa untuk meminta belas kasih guru agar diijinkan pulang. Tidak masuk sekolah selama beberapa hari karena keluhan fisik yang sering dijadikan alasan seperti sakit perut, atau sakit kepala.
Bila fobia sekolah pada anak masih belum kronis, ayah ibu bisa melakukan terapi sendiri dengan cara tetap mengharuskan anak sekolah setiap hari. Menurut para ahli kejiwaan, obat manjur menghadapi rasa takut adalah dengan melawannya.
Orang tua harus berusaha untuk tegas dan konsisten dalam bereaksi terhadap keluhan, rengekan, tantrum atau pun rajukan anak yang tidak mau sekolah. Konsultasikan kesehatan anak dengan dokter. Luangkan waktu untuk berdiskusi dengan anak, barangkali anak menemui kesulitan di sekolahnya. Terakhir, bekerjasama dengan guru atau asisten lain di sekolah sehingga keseharian anak bisa terpantau.
Faktor Penyebab Fobia Sekolah
Konsultasi dengan guru di sekolah, sharing dengan sesama orangtua murid, diskusi dengan anak, konsultasi dengan konselor/ psikolog, (kalau perlu) memeriksakan anak ke paramedis/ dokter sesuai keluhan yang dikemukakannya, hingga introspeksi diri – adalah metode yang tepat untuk mendapatkan gambaran penyebab dari fobia sekolah anak. Berhati-hatilah untuk membuat diagnosa secara subyektif, didasarkan pada pendapat pribadi diri sendiri atau keluhan anak semata. Di bawah ini ada beberapa penyebab fobia sekolah dan school refusal:
1. Separation Anxiety
Separation anxiety pada umumnya dialami anak-anak kecil usia balita (18 – 24 bulan). Kecemasan itu sebenarnya adalah fenomena yang normal. Anak yang lebih besar pun (preschooler, TK hingga awal SD) tidak luput dari separation anxiety. Bagi mereka, sekolah berarti pergi dari rumah untuk jangka waktu yang cukup lama. Mereka tidak hanya akan merasa rindu terhadap orangtua, rumah, atau pun mainannya – tapi mereka pun cemas menghadapi tantangan, pengalaman baru dan tekanan-tekanan yang dijumpai di luar rumah.
Separation anxiety bisa saja dialami anak-anak yang berasal dari keluarga harmonis, hangat dan akrab yang amat dekat hubungannya dengan orangtua. Singkat kata, tidak ada masalah dengan orangtua. Orangtua mereka adalah orangtua yang baik dan peduli pada anak, dan mempunyai kelekatan yang baik. Namun tetap saja anak cemas pada saat sekolah tiba. Tanpa orangtua pahami, anak-anak sering mencemaskan orangtuanya. Mereka takut kalau-kalau orangtua mereka diculik, atau diserang monster atau mengalami kecelakaan sementara mereka tidak berada di dekat orangtua. Ketakutan itu tidak dibuat-buat, namun merupakan fenomena yang biasa hinggap pada anak-anak usia batita dan balita. Oleh sebab itu, mereka tidak ingin berpisah dari orangtua dan malah lengket-nempel terus pada mama-papanya. Peningkatan kecemasan menimbulkan rasa tidak nyaman pada tubuh mereka, dan ini lah yang sering dikeluhkan (perut sakit, mual, pusing, dsb.). Sejalan dengan perkembangan kognisi anak, ketakutan dan kecemasan yang bersifat irrasional itu akan memudar dengan sendirinya karena anak mulai bisa berpikir logis dan realistis. Separation anxiety bisa muncul kala anak selesai menjalani masa liburan panjang atau pun mengalami sakit serius hingga tidak bisa masuk sekolah dalam jangka waktu yang panjang. Selama di rumah atau liburan, kuantitas kedekatan dan interaksi antara orangtua dengan anak tentu saja lebih tinggi dari pada ketika masa sekolah. Situasi demikian, sudah tentu membuat anak nyaman dan aman. Pada waktu sekolah tiba, anak harus menghadapi ketidakpastian yang menimbulkan rasa cemas dan takut. Namun, dengan berjalannya waktu, anak yang memiliki rasa percaya diri, dapat perlahan-lahan beradaptasi dengan situasi sekolah.
Peneliti berpendapat, anak yang mempunyai rasa percaya diri yang rendah, berpotensi menjadi anak yang anxiety prone-children (anak yang memiliki kecenderungan mudah cemas) dan cenderung mudah mengalami depresi. Banyak orangtua yang tidak sadar bahwa sikap dan pola asuh yang diterapkan pada anak ikut menyumbang terbentuknya dependency (ketergantungan), rasa kurang percaya diri dan kekhawatiran yang berlebihan. Contohnya, sikap orangtua yang overprotective terhadap anak hingga tidak menumbuhkan rasa percaya diri keberanian dan kemandirian. Anak tidak pernah diperbolehkan, dibiarkan atau didorong untuk berani mandiri. Orangtua takut kalau-kalau anaknya kelelahan, terluka, jatuh, tersesat, sakit, dan berbagai alasan lainnya. Anak selalu berada dalam proteksi, pelayanan dan pengawalan melekat dari orangtua.
Akibatnya, anak akan tumbuh menjadi anak manja, selalu tergantung pada pelayanan dan bantuan orangtua, penakut, cengeng, dan tidak mampu memecahkan persoalannya sendiri. Banyak orangtua yang tanpa sadar membuat pola ketergantungan ini berlangsung terus-menerus agar mereka merasa selalu dibutuhkan (berarti, berguna) dan sekaligus menjadikan anak sebagai teman “abadi”. Padahal, dibalik ketergantungan sang anak terhadap orangtua, tersimpan kebutuhan dan ketergantungan orangtua pada “pengakuan” sang anak. Akibatnya, keduanya tidak dapat memisahkan diri saat anak harus mandiri dan sulit bertumbuh menjadi individu yang dewasa.
2. Pengalaman Negatif di Sekolah atau Lingkungan
Mungkin saja anak menolak ke sekolah karena dirinya kesal, takut dan malu setelah mendapat cemoohan, ejekan atau pun di”ganggu” teman-temannya di sekolah. Atau anak merasa malu karena tidak cantik, tidak kaya, gendut, kurus, hitam, atau takut gagal dan mendapat nilai buruk di sekolah.
Di samping itu, persepsi terhadap keberadaan guru yang galak, pilih kasih, atau “seram” membuat anak jadi takut dan cemas menghadapi guru dan mata pelajarannya. Atau, ada hal lain yang membuatnya cemas, seperti mobil jemputan yang tidak nyaman karena ngebut, perjalanan yang panjang dan melelahkan, takut pergi sendiri ke sekolah, takut sekolah setelah mendengar cerita seram di sekolah, takut menyeberang jalan, takut bertemu seseorang yang “menyeramkan” di perjalanan, takut diperas oleh kawanan anak nakal, atau takut melewati jalan yang sepi.
Masalahnya, tidak semua anak bisa menceritakan ketakutannya itu karena mereka sendiri terkadang masih sulit memahami, mengekspresikan dan memformulasikan perasaannya. Belum lagi jika mereka takut dimarahi orangtua karena dianggap alasannya itu mengada-ada dan tidak masuk akal. Dengan sibuknya orangtua, sementara anak-anak lebih banyak diurus oleh baby sitter atau mbak, makin membuat anak sulit menyalurkan perasaannya; dan akhirnya yang tampak adalah mogok sekolah, agresif, pemurung, kehilangan nafsu makan, keluhan-keluhan fisik, dan tanda-tanda lain seperti yang telah disebutkan di atas
3. Problem Dalam Keluarga
Penolakan terhadap sekolah bisa disebabkan oleh problem yang sedang dialami oleh orangtua atau pun keluarga secara keseluruhan. Misalnya, anak sering mendengar atau bahkan melihat pertengkaran yang terjadi antara papa-mamanya, tentu menimbulkan tekanan emosional yang mengganggu konsentrasi belajar. Anak merasa ikut bertanggung jawab atas kesedihan yang dialami orangtuanya, dan ingin melindungi, entah mamanya – atau papanya. Sakitnya salah seorang anggota keluarga, entah orangtua atau kakak/adik, juga dapat membuat anak enggan pergi ke sekolah. Anak takut jika terjadi sesuatu dengan keluarganya yang sakit ketika ia tidak ada di rumah.
4. Pola hubungan orangtua dan anak yang tidak sehat.
Yang dimaksud adalah sikap orangtua yang tidak dapat memperlakukan anak-anak sebagai pribadi yang seutuhnya. Orangtua cenderung overprotective, selalu mengatur, pilih kasih dan lain-lain. Atau sebaliknya, orangtua kurang peduli, terlalu sibuk dengan pekerjaan sendiri dan mengabaikan tanggung jawabnya dalam rumah tangga. Akibatnya, perkembangan kepribadian anak menjadi tidak sehat.